KIAI TAK PERLU DIBELA, BELALAH KAUM YANG LEMAH

Redaksi


Nusantara News Probolinggo - Di tengah gegap gempita dunia maya dan hiruk-pikuk layar kaca, Trans7 kembali membuat gelombang yang tak perlu. Sebuah siaran yang dianggap melecehkan kiai dan pesantren seakan menjadi bara yang menyulut api di hati para santri dan simpatisan. Demonstrasi pun pecah, bendera dibentang, suara lantang menggema semuanya atas nama cinta kepada guru dan kehormatan pesantren. Tapi, di tengah kerumunan itu, ada satu suara lirih namun tegas dari seorang warga biasa dan merupakan alumni Ponpes yang berbeda pemikiran dan rasa dengan santri yang lain tetapi tidak mengurangi rasa hormat kepada santri yang lain, “Kiai tak perlu dibela, belalah kaum yang lemah.”


Kalimat itu keluar dari mulut Bang Supar , lelaki sederhana asal Desa Sumberanyar, Paiton. Ucapannya menusuk bukan untuk merendahkan semangat para santri, tapi untuk menampar kesadaran kita semua.  

Ia berkata, “Belalah kaum yang lapar, itu aksi kemanusiaan. Membela guru kita sejatinya adalah dengan meneladani ajarannya, bukan sekadar berdemo karena tidak terima. Membela kaum yang lemah lebih mulia dari apapun, karena bermanfaat bagi orang lain.”


Dan benar, 

Seorang kiai sejati tidak butuh benteng manusia, karena ia sudah dijaga oleh Allah. Pesantren bukan bangunan rapuh yang bisa runtuh oleh tayangan televisi. Ia kokoh di atas doa, berdiri di atas ilmu, dan tumbuh di atas keikhlasan para santri.  " Trans7 bisa menyiarkan apa saja, bahkan tiap hari jam 23:59:59, tapi jumlah santri di Lirboyo takkan pernah berkurang malah akan terus bertambah.


Namun, mari kita bicara tegas:  

 "Trans7 telah keliru ".

Kebebasan berekspresi bukan tiket untuk menginjak nilai-nilai suci. Tayangan yang menyinggung simbol-simbol keagamaan bukan bentuk kreativitas, tapi cermin ketidakpekaan. Dalam masyarakat yang menjunjung adab, penghinaan terhadap ulama dan pesantren bukanlah hiburan tapi 'luka '. Luka yang tak tampak, tapi dalam. Luka yang mengiris keyakinan umat yang menjadikan kiai sebagai pelita hidup.


Tapi mari juga jujur pada diri sendiri ,

Apakah marah dan turun ke jalan adalah satu-satunya bentuk cinta?  

Apakah membela kiai dengan berteriak lebih utama dari memberi makan fakir miskin di sekeliling pesantren?  

Mungkin di sinilah letak keagungan ucapan Bang Supar. Ia mengingatkan bahwa pembelaan sejati bukan pada simbol, tapi pada nilai. Bukan pada amarah yang berbungkus rasa cinta, tapi pada amal.  


Kiai tidak pernah meminta dibela.Yang mereka ajarkan justru sabar, maaf, dan kasih.  

Kiai tak akan jatuh karena cercaan media. Justru media-lah yang akan kehilangan martabatnya bila terus bermain dengan isu suci yang tak mereka pahami.


Maka pesan ini jelas ,

Untuk Trans7 — berhentilah menari di atas bara. Jadilah media yang beradab, bukan sekadar pandai memancing sensasi.  

Dan untuk para santri, alumni, serta para Gus dan kiai muda , mari buktikan kecintaan kita bukan lewat amarah dan aksi turun jalan, tapi lewat amal.  

Karena, seperti kata Bang Supar ,

 “Belalah kaum yang lapar, bukan sekadar marah. Karena membela orang lapar adalah membela kemanusiaan.”


Di dunia yang semakin bising ini, kadang suara paling kecil justru yang paling jujur.  

Dan di tengah keramaian yang teriak “bela kiai!”, ada suara hati yang berbisik lembut:  

“Kiai tak perlu dibela… karena Allah sendiri yang menjaga mereka.”


Sumber : Bang Supar, Desa Sumberanyar, Paiton – Probolinggo, Jawa Timur

(MH**)