Detik Nusantara News - Tim Penggerak PKK Provinsi Jawa Timur bersama TP PKK Kota Probolinggo dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jatim menggelar sosialisasi Pengembangan Produk Bernilai Tambah untuk Peningkatan Gizi Keluarga, Rabu (27/8), di Rumah Dinas Wali Kota Probolinggo. Acara ini dikemas dengan cooking demo yang dipandu Chef Chilmi, dosen Food Company Politeknik Sahid Kota Batu.
Dua menu unik ditampilkan yaitu Brownies Ikan Dori dan Korean Fish Cake berbahan ikan dan udang. Ketua TP PKK Provinsi Jatim, Arumi Bachsin, bersama Ketua TP PKK Kota Probolinggo, dr. Evariani, ikut memperagakan langsung cara mengolahnya. Antusiasme peserta, yang mayoritas ibu-ibu PKK, tampak mengalir saat mereka mencoba teknik pengolahan dan penyajian.
Kegiatan ini bukan sekadar demo masak. Lebih dari itu, menjadi ruang belajar praktis agar keluarga mampu mengolah hasil perikanan menjadi produk bernilai tambah. “Dengan cara ini, gizi keluarga bisa terpenuhi tanpa bergantung pada produk instan,” ujar salah satu peserta penuh semangat.
Turut hadir mendukung acara, Ketua Bidang Penguatan Ketahanan Pangan TP PKK Jatim Diana Heru Suseno, Ketua Pokja III TP PKK Jatim Enny Haliyanti Isa Ansori, serta Kabid Pengolahan dan Pemasaran Produk Kelautan dan Perikanan DKP Jatim Hari Pranoto. Dukungan lintas sektor ini menegaskan bahwa isu gizi keluarga bukan hanya tugas rumah tangga, tetapi juga tanggung jawab bersama.
Namun, selepas kegiatan, sorotan publik justru mengarah ke Ketua TP PKK Kota Probolinggo, dr. Evariani, yang hadir dengan seragam PKK saat mengikuti Sosialisasi KUA-PPAS APBD 2026 bersama eksekutif. Kehadiran itu memantik kritik tajam dari aktivis Ketua LSM PASKAL, yang menilai ada potensi penyalahgunaan atribut PKK di luar konteks organisasi.
Menurut Ketua LSM PASKAL Sulaiman, jabatan istri wali kota sebagai Ketua TP PKK memang melekat secara non-struktural. Tetapi ketika yang bersangkutan juga menduduki kursi legislatif, statusnya berubah menjadi pejabat publik yang harus tunduk pada etika politik. “Seragam PKK hanya sah dipakai dalam kegiatan PKK, bukan dibawa ke forum politik atau kedewanan,” tegasnya.
Sulaiman itu mengingatkan, aturan jelas tertuang dalam Permendagri No. 36 Tahun 2020, pelaksana Perpres 99 Tahun 2017 tentang Gerakan PKK. Regulasi ini menegaskan bahwa atribut PKK, termasuk seragam, adalah identitas resmi yang bersifat internal, bukan alat politik. Menggunakannya di luar konteks resmi bisa dianggap bentuk benturan kepentingan.
Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa jabatan publik menuntut kehati-hatian ekstra. Masyarakat butuh pemimpin yang jernih memisahkan ranah organisasi sosial dengan politik. Jika seragam PKK tetap dipakai dalam kapasitas DPR/DPRD, maka yang dipertaruhkan bukan hanya etika pribadi, tetapi juga marwah PKK sebagai gerakan kerakyatan.
(BR**)