Detik Nusantara Probolinggo – Tiga hari menjelang pelaksanaan Konferensi Cabang (Konfercab) PCNU Kraksaan, beredar sebuah draf surat rekomendasi nama-nama calon tim ahwa (ahlul halli wal aqdi) yang disebut-sebut telah sampai ke kalangan Syuriah MWC NU.
Dalam draf tersebut, tercantum lima nama kiai yang direkomendasikan, yakni KH Munir Cholili, KH Wasik Hannan, KH Sakdullah, KH Muhammad Ghazali Bahar, dan KH Abdullah Mahmud. Bocornya draf ini sontak memunculkan perbincangan hangat di tubuh NU, terutama terkait transparansi serta integritas proses menjelang hajatan besar organisasi Islam terbesar di tanah air itu.
Hendrik, seorang kader NU kultural, menilai ada keanehan dalam dinamika NU struktural hari ini. Ia membandingkan kondisi masa lalu dengan sekarang.
“Dulu masyarakat sangat paham siapa pengurus ranting dan siapa pengurus MWC NU, karena mereka adalah tokoh agama setempat yang memang mengajar ngaji di mushola-mushola. Hari ini, banyak warga justru tidak tahu siapa pengurusnya. Seolah NU kehilangan ruhnya, tidak lagi menyatu dengan masyarakat,” tegas Hendrik.
Menurutnya, momentum Musyawarah Cabang NU Kraksaan harus dijadikan titik balik untuk mengembalikan NU kepada cita-cita para masyaikh dan para pendirinya, berakar pada umat, bukan sekadar untuk kepentingan kekuasaan, apalagi pribadi.
Senada dengan itu, Gus Muhammad Toyib Al Ghaufar, tokoh masyarakat Krejengan yang dikenal vokal dalam isu pemberantasan korupsi, juga angkat bicara.
Ia mengingatkan agar Muscab tidak ditunggangi oleh kepentingan sempit. “NU harus kembali ke ranah perjuangan aslinya, jangan dipakai untuk kendaraan pribadi. Apalagi kalau ada nama-nama yang pernah terseret dalam kasus korupsi, jelas itu mencederai marwah organisasi,” ungkapnya.
Gus Toyib bahkan menyinggung keterlibatan beberapa pihak dalam perkara korupsi Hasan dan Tantri yang sempat menyeret nama Yayasan NU. “Kalau rekening yayasan dipakai menampung gratifikasi, itu bukan hanya mencoreng NU, tapi juga menghancurkan kehormatan para masyaikh. Kalau mereka lupa, biar saya yang mengingatkan,” tegasnya.
Sebagai kader NU kultural, Hendrik menegaskan dirinya dan banyak warga lainnya akan menjaga NU dengan cara mereka sendiri, termasuk mendorong pengusutan skandal yayasan hingga jalur hukum jika diperlukan.
Masih banyak kiai sepuh, kata dia, yang bisa dijadikan teladan. Nama-nama besar seperti KH As’ad Syamsul Arifin, KH Zaini Mun’im, hingga KH Hasan Sepuh Genggong disebut sebagai contoh figur ulama yang menjaga integritas tanpa menjual kehormatan untuk kepentingan pribadi.
“NU ini didirikan untuk umat, bukan untuk dagangan politik. Semoga Muscab Kraksaan nanti melahirkan pengurus yang berakhlakul karimah, jelas sanad keilmuannya, dan tidak dikendalikan oleh syahwat kekuasaan,” pungkasnya
(BR**)